Aka Canovea dan Keluarga

Blog sederhana yang ditujukan untuk sarana silaturahim, berbagi dan bersinergi

Sabtu, 17 Desember 2011

Ar-Rahman Ar-Rahim



"Aku adalah Ar Rahman, Aku menciptakan rahim, Kuambilkan untuknya nama yang berakar dari namaKu, siapa yang menyambungnya (silaturahmi) akan Ku-sambung (rahmat-Ku) untuknya dan siapa yang memutuskannya Kuputuskan (rahmatKu baginya). (H.R. Abu Daud dan At Tirmidzi melalui AbdurRahman bin 'Auf).

Dari Aisyah ra berkata : "Serombongan orang-orang Yahudi minta izin bertetamu kepada Rasulullah saw lalu mereka ucapkan : Assamu'alaikum (racun untukmu)". Jawab Aisyah "Bal'alaikumussaam wal la'nah (bahkan untukmulah racun dan kutukan). Maka bersabda Rasul, "Ya Aisyah ! Sesungguhnya Allah senang dengan kelemahlembutan dalam segala urusan". Kata Aisyah "Tidakkah engkau dengar ucapan mereka?". Jawab beliau, "Ya, aku mendengarnya bahkan telah kujawab, wa'alaikum". (HR. Muslim)

Dari Abu Hurairah ra berkata Rasulullah bercerita, "Pada suatu ketika ada seekor anjing mengelilingi sebuah sumur, anjing itu hampir mati kehausan. Tiba-tiba dia terlihat oleh seorang wanita pelacur bangsa Yahudi. Maka dibukanya sepatu botnya kemudian dicedoknya air dengan sepatunya lalu diberinya minum anjing yang hampir mati itu. Maka Allah mengampuni dosa-dosa wanita itu." (HR. Muslim)

Dari Abu Hurairah ra berkata Nabi saw bersabda : "Tatkala menciptakan makhluk, Allah ta'ala telah menulis dalam buku yang tersimpan di 'Arasy, "Sesungguhnya rahmat-Ku lebih besar daripada murka-Ku". (HR. Muslim)

Menurut pakar bahasa Ibnu Faris (395 H) semua kata yang terdiri dari huruf-huruf Ra, Ha, dan Mim, mengandung makna "kelemahlembutan, kasih sayang dan kehalusan". Hubungan silaturahim adalah hubungan kasih sayang. Rahim, adalah peranakan/kandungan yang melahirkan kasih sayang. Kerabat juga dinamai rahim karena kasih sayang yang terjalin antara anggota-anggotanya.

Rahmat lahir dan nampak di permukaan bila ada sesuatu yang dirahmati, dan setiap yang dirahmati pastilah sesuatu yang butuh. Di sisi lain siapa yang bermaksud memenuhi kebutuhan pihak lain tetapi secara faktual dia tidak melaksanakannya karena ketidakmampuannya maka boleh jadi dia dinamai rahim, ditinjau dari segi kelemahlembutan, kasih sayang dan kehalusan yang menyentuh hatinya tetapi yang demikian ini adalah sesuatu yang tidak sempurna.

Rahmat yang menghiasi diri seseorang, tidak luput dari rasa pedih yang dialami oleh jiwa pemiliknya. Rasa itulah yang mendorongnya untuk mencurahkan rahmat kepada yang dirahmati. Rahmat dalam pengertian demikian adalah rahmat makhluk, Allah tidak demikian. Tetapi tulis Al Ghazaly, "jangan Anda duga bahwa hal ini mengurangi makna rahmat Tuhan, bahkan disanalah kesempurnaannya. Rahmat yang tidak dibarengi oleh rasa pedih –sebagaimana rahmat Allah- tidak berkurang karena kesempurnaan rahmat yang ada di dalam, ditentukan oleh kesempurnaan buah/hasil rahmat itu saat dianugerahkan kepada yang dirahmati dan betapapun Anda memenuhi secara sempurna kebutuhan yang dirahmati, yang bersangkutan ini tidak merasakan sedikitpun apa yang dialami oleh yang memberinya rahmat. Kepedihan yang dialami oleh sipemberi merupakan kelemahan makhluk."

Adapun yang menunjukkan kesempurnaan rahmat Ilahi walaupun Yang Maha Pengasih itu tidak merasakan kepedihan maka menurut Imam AlGhazaly adalah karena makhluk yang mencurahkan rahmat saat merasakan kepedihan itu, hampir-hampir saja dapat dikatakan bahwa saat ia mencurahkannya, ia sedang berupaya untuk menghilangkan rasa pedih itu dari dirinya, dan ini berarti bahwa pemberiannya tidak luput dari kepentingan dirinya. Hal ini mengurangi kesempurnaan makna rahmat, yang seharusnya tidak disertai dengan kepentingan diri, tidak pula untuk menghilangkan rasa pedih tetapi semata-mata demi kepentingan yang dirahmati. Demikianlah rahmat Allah swt.

Pemilik rahmat yang sempurna adalah yang menghendaki dan melimpahkan kebajikan bagi yang butuh serta memelihara mereka sedang Pemilik Rahmat yang menyeluruh adalah yang mencurahkan rahmat kepada yang wajar maupun tidak wajar menerimanya.

Rahmat Allah bersifat sempurna karena setiap Dia menghendaki tercurahnya rahmat, seketika itu juga rahmat tercurah. Rahmat-Nya pun bersifat menyeluruh karena ia mencakup yang berhak maupun yang tidak berhak serta mencakup pula aneka macam rahmat yang tidak dapat dihitung atau dinilai.

Apa perbedaan antara Rahman dan Rahim? Banyak ragam jawaban terhadap pertanyaan ini. Syekh Muhammad Abduh berpendapat bahwa Rahman adalah rahmat Tuhan yang sempurna tapi sifatnya sementara dan yang dicurahkanNya kepada semua makhluk. Kata ini dalam pandangan Abduh adalah kata yang menunjuk sifat fi'il/perbuatan Tuhan.

Dia Rahman berarti Dia mencurahkan rahmat yang sempurna tetapi bersifat sementara tidak langgeng. Ini antara lain dapat berarti bahwa Allah mencurahkan rahmat yang sempurna dan menyeluruh tetapi tidak langgeng terus menerus.

Rahmat menyeluruh tersebut menyeluruh tersebut menyentuh semua manusia –mukmin atau kafir- bahkan menyentuh seluruh makhluk di alam raya, tetapi karena ketidaklanggengannya maka ia hanya berupa rahmat di dunia saja. Bukankah rahmat di dunia menyentuh semua makhluk tetapi dunia itu sendiri, begitu juga rahmat yang diraih di dunia tidak bersifat abadi.

Adapun kata Rahim yang patronnya menunjukkan kemantapan dan kesinambungan maka ia menunjuk kepada sifat zat Allah, atau menunjukkan kepada kesinambungan dan kemantapan nikmatnya. Kemantapan dan kesinambungan hanya dapat wujud di akhirat kelak, disisi lain rahmat ukhrawi hanya diraih oleh orang taat dan bertaqwa : "Katakanlah : "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkanNya untuk hamba-hambaNya dan (siapa pulakah) rezki yang baik?" Katakanlah, "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui." (QS. Al A'raf 7:32)

Karena itu rahmat yang dikandung oleh kata Rahiim adalah rahmat ukhrawi yang akan diraih oleh yang taat dan bertaqwa kepadaNya.

Ada juga yang berpendapat bahwa kata Rahman menunjuk kepada Allah dari sudut pandang bahwa Dia mencurahkan rahmat secara faktual sedang rahmat yang disandangNya dan yang melekat pada diriNya menjadikan Dia berhak menyandang sifat Rahim sehingga dengan gabungan kedua kata itu tergambarlah di dalam benak bahwa Allah Rahman (mencurahkan rahmat kepada seluruh makhlukNya) karena Dia Rahim; Dia adalah wujud / zat Yang memiliki sifat rahmat.

Memang sekali-sekali boleh jadi seorang yang bersifat kikir, mengulurkan tangan bantuan kepada orang lain. Di sini bantuan yang diberikannya itu tidak mengubah kepribadiannya yang kikir; bantuan yang diberikannya itu tidak bersumber dari sifat pribadinya yang sesungguhnya, berbeda dengan seorang pemurah ketika mengulurkan bantuan. Dengan kata Ar Rahman tergambar bahwa Allah mencurahkan rahmatNya dan dengan Ar Rahim dinyatakan bahwa Dia memiliki sifat rahmat yang melekat pada diriNya.

Rahmat Allah tidak terhingga bahkan dinyatakan : "Rahmat-Ku mencakup segala sesuatu" (QS. Al A'raaf 7:156) dan dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman, "Sesungguhnya rahmat-Ku mengatasi/mengalahkan amarah-Ku" (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Ar Rahman dan Ar Rahim seperti dikemukakan di atas berakar dari kata rahim yang juga telah masuk dalam perbendaharaan bahasa Indonesia. Apabila disebutkan kata rahim maka yang terlintas di dalam benak adalah ibu yang memiliki anak, pikiran ketika itu akan melayang kepada kasih sayang yang dicurahkan sang ibu kepada anaknya. Tetapi, jangan diduga bahwa sifat rahmat Tuhan sepadan dengan sifat rahmat ibu, betapapun besarnya kasih sayang ibu. Bukankah kita harus meyakini bahwa Allah adalah wujud yang tidak memiliki persamaan dalam zat, sifat dan perbuatanNya dengan apapun dalam kenyataan hidup atau dalam khayalan?

Rasulullah memberikan ilustrasi menyangkut besarnya rahmat Allah sebagai dituturkan oleh Abu Hurairah katanya :

Aku mendengar Rasulullah saw bersabda :'Allah swt menjadikan rahmat itu seratus bagian, disimpan disisiNya sembilan puluh sembilan dan diturunkanNya ke bumi ini satu bagian; yang satu bagian inilah yang dibagi pada seluruh makhluk, (yang tercermin antara lain) pada seekor binatang yang mengangkut kakinya dari anaknya terdorong oleh rahmat kasih sayang, kuatir jangan sampai menyakitinya. (HR. Muslim).

Kini kita bertanya, apakah buah yang dihasilkan oleh ucapan yang lahir dari lubuk hati? Menurut Al Ghazaly buah yang dihasilkan oleh rahman pada aktivitas seseorang adalah bahwa "ia akan merasakan rahmat dan kasih sayang kepada hamba-hamba Allah yang lengah, dan ini mengantar yang bersangkutan untuk mengalihkan mereka dari jalan kelengahan menuju Allah. Dengan memberinya nasehat secara lemah lembut -tidak dengan kekerasan, memandang orang-orang berdosa dengan pandangan kasih sayang- bukan dengan gangguan. Memandang setiap kedurhakaan yang terjadi di alam raya, bagai kedurhakaan terhadap dirinya, sehingga dia tidak menyisihkan sedikit upayapun untuk menghilangkannya sesuai kemampuannya sebagai pengejawantahaan dari rahmatnya terhadap si durhaka jangan sampai ia mendapatkan murkaNya dan kejauhan dari sisiNya".

Sedang buah rahim menurut Al Ghazaly adalah "tidak membiarkan seorang yang butuh kecuali berupaya memenuhi kebutuhannya, tidak juga membiarkan seorang fakir di sekelilingnya atau dinegerinya kecuali dia berusaha untuk membantu dan menampik kekafirannya dengan harta, kedudukan atau berusaha melalui orang ketiga sehingga terpenuhi kebutuhannya. Kalau semua itu tidak berhasil ia lakukan, maka hendaklah ia membantunya dengan doa serta menampakkan rasa kesedihan dan kepedihan atas penderitaannya. Itu semua, sebagai tanda kasih sayang dan dengan demikian ia bagaikan serupa dengan yang dikasihinya itu dalam kesulitan dan kebutuhan".

Jumat, 16 Desember 2011

Menjadi Bidadari Yang Didambakan






Menjadi bidadari bagi suami di dunia dan akhirat, adalah cita-cita tertinggi seorang muslimah sebagai istri. Mengapa tidak cukup menjadi bidadari di dunia saja? Toh, Allah sudah menjanjikan bidadari-bidadari di syurga bagi para suami (muslimin) yang shaleh. Justru itulah sebabnya.

Tidak cemburukah para istri jika perannya digantikan oleh wanita-wanita lain yang kebetulan seorang bidadari? Oleh karenanya, adalah sebuah dambaan bagi seorang istri untuk menjadi ratu bidadari bagi suaminya kelak di syurga.
Karena istri atau wanita pendamping suami ketika hidup di dunia lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan bidadari-bidadari syurga, karena ibadahnya kepada Allah. Wanita dunia menjalankan sholat, shaum, dan semua amaliah
ibadah lainnya, sedang bidadari syurga tidak.

Al-Qur’an maupun Hadits Rasulullah SAW banyak menyebutkan tentang sosok bidadari syurga. Teramat banyak ilustrasi indah yang dinyatakan untuk menggambarkan bidadari syurga. Istri-istri yang disediakan oleh Allah tersebut, yang dinyatakan berjumlah ‘72’, adalah wanita abadi dan suci, cantik jelita nan lembut gemulai… tiap kali berkumpul bersama mereka tidak ada kata bosan dan jenuh. Jika bidadari menampakkan wajahnya, terpancarlah keindahan antara langit dan bumi. Bidadari yang sempurna, indah perangai, indah segala. Mereka tidak pernah disentuh oleh penghuni-penghuni syurga selain suaminya. Ketika sang
mukmin masuk syurga bidadari akan menyambutnya dengan pelukan hangat dan erat dengan jari dan telapak tangan yang lembut dan indah. Mereka selalu bernyanyi riang gembira, tiada sedih tiada duka, mereka menyanyikan kidung-kidung, tasbih, tahmid, serta pujian kepada Allah. Jika bidadari syurga ke bumi niscaya wanginya akan memenuhi seluruh bumi… Subhanallaah..

Adalah tugas besar dan berat bagi seorang istri untuk menjadi bidadari di antara bidadari lain bagi suaminya. Karena hanya seorang istri yang shalihahlah yang kelak dapat menjadi ratunya bidadari syurga. Dengan kata lain, seorang istri haruslah masuk syurga, sehingga bisa mendampingi suaminya. Disebutkan: Dari Anas bin Malik ra. bahwa Rasulullah bersabda: “Jika perempuan shalat lima waktu, berpuasa pada bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya, niscaya ia akan masuk syurga.” (HR. Al-Bazaar).
Tapi bukan sebatas itu, banyak hal lain yang harus diperhatikan dan diutamakan untuk dilaksanakan bagi seorang istri agar dapat mendampingi suami di syurga,
yakni:

Senantiasa taat pada Rabb-nya.
Segala ketentuan dan ketetapan Rabb-nya diterima dengan tulus ikhlas, tiada rasa berat di hati. Oleh karenanya, seorang wanita jika ingin menjadi bidadari dunia akhirat hendaknya bisa memingit dirinya dari segala macam perbuatan maksiat dan durhaka.

Membantu suami taat pada Rabb-nya.
“Harta yang utama adalah lisan yang senantiasa berdzikir, hati yang senantiasa bersyukur dan istri beriman yang membantu suami dalam menegakkan bangunan imannya”. (Hr. Ibnu Majah dan Tirmidzi, hasan).

Yang termasuk ciri istri yang shalehah yang akan menjadi ratunya bidadari di syurga nanti adalah yang taat kepada suaminya bahkan dikatakan tidak dianggap taat kepada Allah jika tidak mau taat kepada suaminya dalam hal yang ma’ruf.

Bersikap sebagaimana istri yang shalihah terhadap suami,
yang diwujudkan dengan sikap a.l: menghargai suami, selalu bersikap lembut dan sopan di hadapan suami, menampakkan pandangan yang teduh dan tenang, senantiasa bertutur lembut dan manis, selalu berkata yang baik, merdu dan riang kepada suami, menghiburnya setiap saat, selalu berhias dan menjaga kecantikan dirinya untuk suami, dlsb.

Telah banyak keterangan sebagai panduan bagi seorang istri dalam bersikap kepada suami.

“Sebaik-baik wanita adalah yang jika engkau melihatnya, akan membahagiakan dirimu, jika engkau memerintahnya akan mentaatimu, dan jika engkau tidak berada di sampingnya ia akan menjaga hartamu dan dirinya sendiri.” (HR. Ibnu Jarir dan Nasa’I dari Abu Hurairah ra. Hadits Hasan).

Ali bin Abi Thalib berkata tentang istrinya (Fathimah ra.): “Ketika aku memandangnya, hilanglah kesusahan dan kesedihanku.”

“Hak suami terhadap istrinya adalah sekalipun seandainya terdapat luka pada kulitnya kemudian istri menjilatinya selama itu dapat memenuhi hak-hak suaminya
maka lakukan.” (HR. Hakim dari Abu Sa’id Al-Khudri ra., hadits Shahih).

“Janganlah seorang perempuan menyakiti suaminya di dunia, kalau tidak, maka bidadari-bidadari
istrinya di syurga akan berkata kepadanya: “Janganlah kamu menyakitinya, sesungguhnya ia adalah tamu bagimu yang sebentar lagi akan meniggalkanmu untuk berkumpul bersama kami.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi dari Mu’adz bin Jabal ra.
Hadits shahih).

Khadijah adalah teladan istri yang baik yang mampu menentramkan hati suami yang sedang gelisah, tatkala Rasulullah saw menerima wahyu pertama. Dengan tutur kata yang begitu lembut dan menyentuh hati, memberikan kesejukan pada hati sang suami.

Seorang isteri hendaklah selalu menyambut dengan sikap penuh kehangatan ketika suami memasuki rumahnya karena inilah sambutan bidadari syurga. Dia melayani dan membahagiakan suaminya selama di sisinya. Ia sadar telah ditakdirkan Allah sebagai pendamping sekaligus pelayan bagi suaminya.

Dari semua keterangan di atas menunjukkan betapa besarnya hak suami terhadap istri. Istri yang shaleh tentu harus paham akan hal ini. Oleh karena itu, para istri hendaknya senantiasa berhati-hati dalam bersikap kepada suami, karena jika salah melangkah bisa membawa ke neraka dan sebaliknya jika benar bisa menghantarkan ke syurga dengan rahmat Allah.

Imam Ahmad dalam musnadnya meriwayatkan hadits dari Hushain bin Mihshan ra., dia bercerita, bibiku bercerita: Aku pernah datang memenuhi Rasulullah saw untuk suatu keperluan. Lalu beliau berkata, “Apakah kamu sudah menikah?” Bibiku menjawab, “Ya. Bagaimana sikap dan tindakanmu selama ini terhadapnya? Tanya Rasulullah lebih lanjut. Ia pun menjawab, “Aku senantiasa melayani kecuali
bila aku tidak sanggup melakukannya. Beliau bersabda, “Coba renungkan kembali, bagaimana sikapmu terhadapnya. Sesungguhnya dia dapat menjadi sebab surgamu atau nerakamu”.

Sesungguhnya kebahagiaan yang selalu didambakan oleh setiap insan adalah kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Kebahagiaan keduanya tak mungkin dapat diraih oleh seseorang melainkan dengan kefaqihan dalam agama yang lurus. Apabila sebuah keluarga difaqihkan tentang agama oleh Allah, maka itulah karunia yang besar yang akan menghantarkan dirinya ke syurga kelak. Oleh karena itu, istri yang baik akan senantiasa memperdalam pengetahuannya tentang dien Islam. Lalu menghidupkan nilai-nilai islami ini dalam kehidupan rumah tangganya bersama sang suami. Karena tujuan wanita menjalin kehidupan rumah tangga adalah dalam rangka memelihara diri dan menyempurnakan setengah dien yang lain serta dalam rangka regenerasi mujahid yang ‘aliman shalihan. Insya Allah… **_am

“Ya Allah, berkahilah aku terhadap keluargaku, dan berkahilah mereka terhadapku. Ya Allah, satukanlah kami dengan kebajikan, dan pisahkanlah kami dengan kebajikan jika Engkau memisahkan kami.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah dengan sanad hasan)

Selasa, 13 Desember 2011

AMANAH SEORANG SAHABAT

       Diceritakan bahawa ada dua orang lelaki dari kalangan sahabat Rasulullah s.w.a. berteman baik saling ziarah menziarahi antara satu dengan lainnya. Mereka adalah Sha'b bin Jastamah dan Auf bin Malik.
"Wahai saudaraku, siapa di antara kita yang pergi (meninggal dunia) terlebih dahulu, hendaknya saling kunjung mengunjungi." kata Sha'b kepada Auf di suatu hari.
"Betul begitu?" tanya Auf.
"Betul." jawab Sha'b.
Ditakdirkan Allah, Sha'b meninggal dunia terlebih dahulu. Pada suatu malam Auf bermimpi melihat Sha'b datang mengunjunginya.
"Engkau wahai saudaraku?" tanya Auf.
"Benar." jawab Sha'b.
"Bagaimana keadaan dirimu?"
"Aku mendapatkan keampunan setelah mendapat musibah."
Apabila Auf melihat pada leher Sha'b, dia melihat ada tanda hitam di situ.
"Apa gerangan tanda hitam di lehermu itu?" tanya Auf.
"Ini adalah akibat sepuluh dinar yang aku pinjam dari seseorang Yahudi, maka tolong jelaskan hutang tersebut. Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa tidak satupun kejadian yang terjadi di dalam keluargaku, semua terjadi pula setelah kematianku. Bahkan terhadap kucing yang matipun dipertanggungjawabkan juga. Ingatlah wahai saudaraku, bahwa anak perempuanku yang mati enam hari yang lalu, perlu engkau beri pelajaran yang baik dan pengertian baginya."

       Perbincangan di antara kedua-dua lelaki yang bersahabat itu terhenti kerana Auf terjaga dari tidurnya. Dia menyadari bahwa semua yang dimimpikannya itu merupakan pelajaran dan peringatan baginya. Pada sebelah paginya dia segera pergi ke rumah keluarga Sha'b.
       "Selamat datang wahai Auf. Kami sangat gembira dengan kedatanganmu." kata keluarga Sha'b. "Beginilah semestinya kita bersaudara. Mengapa anda datang setelah Sha'b tidak ada di dunia?"
Auf menerangkan maksud kedatangannya yaitu untuk memberitahukan semua mimpinya malam tadi. Keluarga Sha'b faham akan semuanya dan percaya bahwa mimpinya itu benar. Mereka pun mengumpulkan sepuluh dinar dari wang simpanan Sha'b sendiri lalu diberikan kepada Auf agar dibayarkan kepada si Yahudi.
Auf segera pergi ke rumah si Yahudi untuk menjelaskan hutang Sha'b.
"Adakah Sha'b mempunyai tanggungan sesuatu kepadamu?" tanya Auf.
"Rahmat Allah ke atas Sha'b Sahabat Rasulullah S.A.W. Benar, aku telah memberinya pinjaman sebanyak sepuluh dinar." jawab si Yahudi.
Setelah Auf menyerahkan sepuluh dinar, si Yahudi berkata: "Demi Allah dinar ini serupa benar dengan dinarku yang dipinjamnya dulu."
Dengan demikian, Auf telah melaksanakan amanah dan pesan saudara seagamanya yang telah meninggal dunia.

Aka Canovea dan Keluarga Copyright © 2011 | Template created by O Pregador | Powered by Blogger